Selasa, 05 April 2011

Makalah : Subyek Pendidikan


                                        SUBJEK PENDIDIKAN



A. PENDAHULUAN

Subjek menurut bahasa adalah   pelaku. Sedangkan pendidikan berasal dari kata dasar didik yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran yang mendapat awalan pen dan akhiran an [1]. Jadi Subyek Pendidikan adalah orang yang mendapat tugas sebagai pelaku dalam hal ini adalah guru yang berhubungan dengan dunia pendidikan.
Allah SWT, berkehendak untuk menciptakan khalifah-khalifah-Nya di muka bumi dengan tugas memakmurkan alam dan mengembangkan amanat risalah serta menegakkan segala amal yang mengandung kemaslahatan, kebaikan dan kebenaran. Pemberian tugas khalifah ini disertai bekal potensi dan ilmu yang dibekalkan dari Allah. Demikianlah khalifah itu ditugaskan untuk senantiasa menjalankan syariat Allah dan mengemban tanggungan yang dipikirkan kepadanya : jika tidak melakukannya,  berarti ia telah mengikuti syahwatnya  dan menjadi perusak di muka bumi.[2] 
Untuk dapat menjalankan fungsinya tersebut, maka manusia dituntut untuk memiliki ilmu pengetahuan. Menurut pandangan Al-Quran, ilmu terdiri dari dua macam: Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai ilmu laduni. Kedua ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai ilmu kasbi.[3] Adapun  memperoleh ilmu kasbi itu  dapat ditempuh melalui jalur pendidikan baik yang formal maupun non formal.
Salah satu komponen dalam pendidikan yang mempunyai peranan sangat penting adalah pendidik/guru (subyek didik). Karena guru sebagai tenaga profesional tidak semata-mata sebagai pengajar yang transfer of value  dan sekaligus sebagai pembimbing.


B.   LANDASAN AL-QURAN SURAT AR-RAHMAN : 1 – 4

 
 “(Tuhan) Yang Maha Pemurah; Yang telah mengajarkan A-Quran. Dia menciptakan manusia; mengajarnya pandai berbicara.[4] 

Apabila disimak dari salah satu ayat tersebut sangtlah jelas, bahwa Allah yang telah mengajarkan Al-Quran berupa informasi tentang penciptaan manusia dan mengajarnya dengan pandai berbicara. Al-Quran sendiri dalam hal ini, menggunakan kata al-rahman tidak kata Allah, dilanjutkan dengan kata al-ihsan tentunya mempunyai maksud dan tujuan tertentu.
Dari ayat tersebut ada kata yang menarik untuk dipahami yaitu al-rahman allama dan Al-Quran suatu kalimat yang meruipakan kesatuan dalam proses belajar mengajar di mana al-rahman sebagai guru, Al-Quran adalah sarana yang diberikan guru Allah untuk manusia dan juga termasuk guru bagi orang yang membacanya (1qra) dan allama adalah proses.
Dari segi bahasa, guru atau pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik.[5]  Dalam bahasa Inggris istilah guru ini memiliki beberapa kata yang berdekatan, begitu pula dalam bahasa Arab sebagimana yang dituangkan al-Ghazali yaitu al-Madaris yang berarti teacher (guru), instructor (pelatih), trainer (pemandu).[6] Selanjtnya kata muaddib atau murabbi berarti educator (pendidik) atau Techer in Karanic School (guru dalam lembaga pendidikan Al-Quran), selain itu ada ustadz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang inteletual, pelatih, penulis dan penyair, serta al-walid yang berarti the second parent (orang tua kedua).[7]
Keutamaan profesi guru sangatlah besar, sehingga Allah menjadikannya sebagai tugas yang diemban Rasulullah SAW, sebagaimana diisyaratkan lewat firman-Nya :

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membecakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali-Imran: 164)       

Filosof Muslim seperti Ibnu Sina berpendapat bahwa guru harus memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan membina anak didiknya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang luhur dan bermartabat menurut pandangan agama,[8]  untuk itu seorang guru hendaknya memiliki kepribadian, pengetahuan, dan pandangan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW yang mulia, karena guru pada hakekatnya sebagai pewaris para Nabi.

Dari gambaran ayat di atas, guru memiliki beberapa fungsi diantaranya:
Pertama, Fungsi penyucian, artinya seorang guru berfungsi sebagai pembersihh diri, pemelihara diri, pengembang, serta pemelihara fitrah manusia.
Kedua, Fungsi pengajaran, artinya seorang guru berfungsi sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan berbagai keyakinan kepada manusia agar mereka menerapkan seluruh pengetahuannya daam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan menurut ‘Athiyah al- Abrasyi menyatakan bahwa fungsi guru antara lain: Pertama, sebagai pemberi pengetahuan yang benar. Kedua,sebagai pembina akhlak yang mulia . Ketiga,pemberi petunjuk tentang hidup yang baik.[9]
Ag. Sujanto menjelaskan fungsi guru itu menjadi tiga, yakni fungsi intruksional (pengajaran), fungsi edukatif (bimbingan), dan fungsi managerial (administrasi).[10]
Dari beberapa fungsi di atas, nampaklah bahwa guru memiliki tugas yang disertai kesabaran, keikhlasan tanpa pamrih, antara lain: sebagai pengajar, guru bertugas membina perkembangan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan murid. Sebagai pembimbing, guru berkewajiban memberikan bimbingan kepada murid dalam mengembangkan kemampuan dan potensi dirinya sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai administrator, guru bertugas mengelola kelas dalam interaksi belajar mengajar sehingga tercipta kondisi belajar yang baik.
Guru merupakan unsur yang sangat esensi dalam memberi bimbingan dan bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaan, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah SWT., kholifah di muka bumi.[11]
Guru merupakan sumber ilmu dan moral. Ia adalah figur indentifikasi dalam hal keluasan ilmu dan keluhuran akhlak di mana manusia (anak didik) akan mengikuti jejak langkahnya agar terhindar dari kegelapan dan masuk dalam kebenaran yang hakiki.[12]
Begitulah kehebatan peran dan pengaruh guru itu, sehingga ahli sejarah terkemuka Henry Adams, berkata bahwa: “Seorang guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu, di mana pengaruhnya berhenti”( A techer affers eternity, he can never tell where his influence stops).
Maka tidak berlebihan jika sampai ada pameo yang mengatakan: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari:.[13] Karena guru itu dari asal kata digugu dan ditiru. Digugu artinya mempercayai, menuruti, mengindahkan. Ditiru artinya melakukan sesuatu menurut apa yang diperbuat oleh orang lain, mencontoh, meneladani.[14]
Oleh karena itu tanggungjawab guru itu bukan hanya anak itu menjadi pintar, akan tetapi juga anak menjadi benar (moral) guru bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar siswa dan bertanggungjawab secara profesional untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya. Peranan guru sangatlah besar dalam memajukan suatu bangsa sebagai pencetak SDM lewat pendidikan.[15]


C.   SURAT AL-KAHFI : 66 – 68 :
 
Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu supaya engkau mengajarkan  kepadaku sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadamu untuk menjadi petunju? “Dia menjawab, “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagamana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau belum jangkau secara menyeluruh bertanya? 

Dalam pertemuan kedua tokoh itu Musa berkata kepadanya, yakni kepada hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus ilmu itu, “Bolehkah aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa, yakni ilmu-ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju kebenaran? ”Dia menjawab, sesunggguhnya engkau hai Musa sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Yakni peristiwa-peristiwa yang engkau akan alami bersamaku, akan membuatmu tidak sabar. Dan  yakni padahal bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau belum jangkau secara menyeluruh hakikat bertanya? “Engkau tidak memiliki pengetahuan batiniah yang cukup tentang apa yang akan engkau lihat dan alami bersamaku.
Kata (ﺨﺒﺮﺍ ) khubron pada ayat ini bermakna pengetahuan yang mendalam. Dari akar kata yang sama lahir kata (ﺨﺒﻴﺮ) khabiir, yakni pakar yang sangat dalam pengetahuannya. Nabi Musa as, memiliki ilmu lahiriah dan menilai sesuatu berdasarkan hal-hal yang bersifat lahiriah. Seperti diketahui, setiap hal yang lahir ada pula sisi batiniahnya, yang mempunyai peranan yang tidak kecil bagi lahirnya lahiriah. Sisi batiniah inilah yang tidak terjangkau oleh pengetahuan Nabi Musa as. Hamba Allah saleh secara tegas menyatakan bahwa Nabi Musa tidak akan sabar, bukan saja karena Nabi Musa dikenal berkepribadian sangat tegas dan keras, tetapi karena lebih-lebih peristiwa dan apa yang akan dilihatnya dari hamba yang shalih itu, sepenuhnya bertentangan dengahn hukum-hukum syar’i yang bersifat lahiriah dan yang dipegang teguh oleh Nabi Musa as. 

Kata (ﺍﺘﺒﻌﻚ ) attabiuka dari kata (ﺘﺒﻊ) tabi’a, yakni mengikuti. Penambahan huruf () ta’ pada kata attabi’ka mengandung nama kesungguhan dalam upaya mengikuti itu. Memang demikianlah seharusnya seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Ucapan Nabi Musa sungguh-sungguh halus. Beliau tidak menuntut untuk diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk pertanyaan, “Bolehkah aku mengikutimu? “Selanjtnya beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga menggarisbawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni untuk menjadi petunjuk baginya. Di sisi lain, beliau mengisyaratkan keluasan ilmu hamba yang shalih itu sehingga Nabi Musa hanya mengharap kiranya dia mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu Nabi Musa tidak menyatakan “apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah”, karerna beliau sepenuhnya sadar, bahwa ilmu pastilah bersumber dari sartu sumber, yakni dari Allah Yang Maha Mengetahui. Memang Nabi Musa dalam ucapannya itu tidak menyebut nama Allah sebagai sumber pengajaran, karena hal tersebut telah merupakan aksioma bagi manusia beriman. Di sisi lain, di sini kita menemukan hamba yang shalih itu juga penuh dengan tata krama. Beliau tidak langsung menolak permintaan Nabi Musa, tetapi menyampaikan penilaiannya, bahwa Nabi agung itu tidak akan bersabar mengikutinya sambil menyampaikan alasan yang sungguh logis dan tidak menyinggung perasaan tentang sebab ketidaksabaran itu.
Kata (ﺘﺤﻂ) tuhith terambil dari kata ﺍﺤﺎﻂ - ﻴﺤﻴﻄ)) ahaatha yuhiithu, yakni
melingkari. Kata ini digunakan untuk menggambarkan penguasaan dan kemantapan
 dari segala segi dan sudutnya bagaikan sesuatu yang melingkari sesuatu yang lain.
Thahir Ibnu ‘Asyur memahami jawaban hamba Allah yang shalih bukan dalam arti memberi tahu Nabi Musa tentang ketidaksanggupannya, tetapi menuntutnya untuk berhati-hati, karena seandainya jawaban itu pemberitaan ketidaksanggupan kepada Nabi Musa tentu saja hamba Allah itu tidak akan menerima diskusi, dan Nabi Musa pun tidak akan menjawab bahwa Insya Allah dia akan sabar. Hemat penulis, pendapat ini tidak terlalu tepat. Apalagi dengan sekian penekanan-penekanan dalam redaksi hamba Allah itu, yakni kata sesungguhnya, serta sekali-kali tidak akan. Di sisi lain, pemberitahuan itu menunjukkan kepada Nabi Musa secara dini tentang pengetahuan hamba Allah itu menyangkuit peristiwa-peristiwa masa yang akan datang yang merupakan keistimewaan yang diajarkan Allah kepadanya. Memang Nabi Musa ketika itu belum mengetahuinya, kerana itu setelah beliau mendesak untuk ikut, hamba Allah itu menerima untuk membuktikan kebenaran ucapannya, dan keran itu pula sebagaimana terbaca di bawah, ia mengulangi ucapannya itu setiap Nabi Musa menununjukkan ketidaksabarannya.
Ucapan hamba Allah ini, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarainya.
Hamba yang shalih itu berkata “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. “Kata (ﻤﻌﻲ) ma’iya / bersama aku mengandung sebab ketidaksabaran itu. Dalam arti ketidaksabarannya bukan karena pengetahuan yang dimiliki oleh hamba yang shalih itu, tetapi dari apa yang dilihat oleh Nabi Musa ketika bersama beliau. Ketika beliau melihat pembocoran perahu, atau pembunuhan anak dan pembangunan kembali dinding – seperti akan terbca nanti – apa yang akan dilihatnya itulah, yang menjadikan Nabi Musa, tidak sabar, bukannya pengetahuannya tentang pembocoran perahu agar menghindari yang lalim, atau bagaimana masa depan anak itu. Memamng dampak pengetrahuan terhadap jiwa berbeda dengan dampak penyaksian. Yang kedua jauh lebih dalam dan berkesan. Itu juga sebabnya ketika Nabi Musa pergi bermunajat kepada Allah dan di sana beliau diberitahu tentang kedurhakaan kaumnya dengan menyembah anak lembu, beliau belum terlalu marah, tetapi begitu kembali dan meliohat kenyataan, maka amarahnya memuncak, dia menarik kepala saudaranya, yakni Nabi Harun serta melemparkan lauh-lauh taurat yang baru saja diterimanya dari Allah (baca kisahnya dalam QS Al-Arof: 148-150).
                                                                                                                                                     

D. KESIMPULAN

Salah satu komponen dalam pendidikan yang mempunyai peranan sangat penting adalah pendidik/guru (subyek didik). Karena guru sebagai tenaga profesional tidak semata-mata sebagai pengajar yang transfer of value  dan sekaligus sebagai pembimbing.
Guru merupakan unsur yang sangat esensi dalam memberi bimbingan dan bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaan, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah SWT., kholifah di muka bumi.
Kita hendaknya mengambil hikmah pelajaran kisah dalam Al-Quran dua sosok manusia yaitu, Nabi Hidir AS dan Nabi Musa AS, di mana kedua nabai tersebut berperan sebagi guru dan murid. Sebagai seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarainya dan seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Oleh karena itu tanggungjawab guru itu bukan hanya anak itu menjadi pintar, akan tetapi juga anak menjadi benar (moral) guru bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar siswa dan bertanggungjawab secara profesional untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya. Peranan guru sangatlah besar dalam memajukan suatu bangsa sebagai pencetak SDM lewat pendidikan.











     
           


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Balai Pustaka, Jakarta,  1991, hal 966.
[2] Abdul Fatah Jalal, Asas Pendidikan Islam, Penerjemah Herry Noer, CV Diponegoro, 1988, hal. 42
[3] Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Bandung, Mizan, 1996, hal. 435-436.
[4] Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, 1985, hal. 885
[5] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,  Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 250
[6] Al-Ghazali, Mizamul Amal, Daarul Maarif, Kairo, 1961, hal. 361. lihat pula Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Libarie, Libanon, Mac Donal dan Evans, Ltd, 1974 cet ke-4, hal. 5 juga John M. Echos dan Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1980, cet. Ke-8, hal 560-808.
[7] Ibid
[8] Ibnu Sina, Al-Siyasah fi Al-Tarbiyah, daarul Maarif, Mesir, 1954, hal 134
[9] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2000, hal 65. lihat juga al-Quran surat Al-Alaq, Al-Muzammil, Al-Mudatsir, At-Takwir, dan Al-Ala.
[10] Ag  Sujanto, Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum,  CV Ilmu, Bandung, cet ke 10, 1999, hal 6-8
[11] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia, bandung, 1998, hal 31
[12] Azzumardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Logos Jakarta, 1998, hal 167
[13] Malik Fajar, H.A, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Depag, 1998, hal 212
[14] Depdikbud, Op cit, hal 327 dan 1002.
[15] Depag, Peningkatan Wawasan Kependidikan, Jakarta, hal; 62